Senin, 21 Januari 2013

Lumpur lapindo yang merugikan


Sejak 29 Mei 2006, lumpur panas mulai menyembur ke permukaan bumi di Porong,
Sidoarjo. Ada geolog yang mengatakan semburan itu merupakan hasil dari aktivitas sebuah
perusahaan minyak yang sedang melakukan eksplorasi di situ, Lapindo Brantas Inc (Davies,
2007, 2008). Namun geolog lain berpendapat semburan dipicu oleh gempa Yogyakarta -Jawa
tengah dua hari sebelumnya (27 Mei 2006) (Mazzini, 2008).
Setelah tiga tahun berjalan, semburan itu tidak dapat dihentikan dan menjadi ancaman
serius bagi orang-orang yang tinggal di sekitar wilayah itu. Tidak ada yang dapat
memprediksi kapan semburan ini berhenti. Sampai saat ini, usaha pemerintah dan/atau
Lapindo belum menunjukkan keberhasilan untuk menghentikan semburan ataupun mengelola
dampak sosial dan lingkungan dari luberan lumpur itu (Schiller et al., 2008). Melihat bencana
ini sebagai bencana kemanusiaan yang terkait dengan isu -isu pembangunan, negara, kapital
dan ruang publik. Relasi pemerintah dan Lapindo cukup rumit, karena pemilik saham terbesar
Lapindo adalah juga seorang menteri dalam periode 2004 -2009, Aburizal Bakrie. Wacana
yang berkembang dalam kasus ini adalah adanya usaha menggunakan legitimasi kekuasaan

1
Artikel ini merupakan bagian dari laporan penelitian yang dibiayai: Center for Religious and Crosscultural Studies (CRCS)—Universitas Gadjah Mada, Institute of Cultural Anthropology and
Development Sociology (CA/DS)—Leiden University, dan beasiswa Study in Netherlands
(STUNED)—NUFFIC/NESO sebagai bagian dari studi MA penulis di Universitas Leiden.

2
 Korespondensi: Anton Novenanto. Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya. Jl. Veteran, Malang.
Telp./Fax.: 0341-575755. Email: nino@brawijaya.ac.iddalam segala tindakan taktis pemerintah untuk menangani dampak pasca -bencana yang
cenderung melindungi satu pihak dan menegasikan yang lain (Akbar, 2007).
Tulisan ini mengulas tentang bencana sosial yang disebabkan oleh luberan lumpur panas
di Sidoarjo. Penulis menguraikan diskusi geolo gis dan politis yang terjadi dalam usaha
mencari penyebab semburan lumpur panas itu, setelah itu masuk pada dampak -dampak
langsung maupun tak langsung pasca -semburan lumpur panas itu. Pembahasan berlanjut pada
kisah-kisah seputar respons politik pasca -bencana. Respons politis yang dimaksud bukan
semata usaha pemerintah untuk melakukan tindakan -tindakan langsung sebagai usaha
pemulihan pasca-bencana, tetapi juga respons politis pada level akar rumput atau korban
sebagai akibat langsung dari bencana lumpur.
What is in a Name?
Kalimat terkenal William Shakespeare, yang terjemahan lugasnya berarti “apalah arti
sebuah nama?” itu melintas di benak penulis ketika memulai menulis. Apakah nama yang
akan dipilih dalam laporan penelitian ini? Seketika ingatan penulis terbang pada sebuah teks
yang tertulis pada sebuah papan iklan ( billboard) yang terletak di pintu masuk situs bencana
lumpur panas Sidoarjo. Dengan warna merah yang kontras dengan latar belakang kuning,
tertulis jelas “Wisata Lumpur Lapindo” (foto 1). Lapindo adalah nama perusahaan minyak
yang diduga oleh banyak pihak sebagai penyebab utama terjadinya semburan lumpur panas di
Porong.
Foto 1. Wisata Lumpur Lapindo (foto oleh Anton Novenanto)
Bagi Dhimam Abror Djuraid, pemimpin redaksi Surabaya Post, nama itu lumpur
Lapindo problematik. Memberi label atau nama adalah sebuah atribusi atas keseluruhan
peristiwa. Pemilihan kata Lapindo bermakna pada penyerahan seluruh keseluruhan tanggung
jawab atas apa yang terjadi di Porong kepada satu pihak, Lapindo Brantas Inc. Padahal,
menurutnya, bencana yang diakibatkan oleh lumpur bukanlah semata akibat kesalahanLapindo, namun juga ada kontribusi pemerintah, yang tidak jelas dalam mengambil sikap dan
tindakan segera untuk menangani pasca -bencana. Dhimam melihat keputus an pemerintah
kerap kontradiktif dengan kepentingan -kepentingan para aktor yang terlibat dalam bencana
lumpur ini (Wawancara Dhimam Abror). Atas dasar itulah, Surabaya Post, suratkabar yang
dipimpinnya sekarang secara konsisten menggunakan nama lumpur Poro ng (Porong: nama
kecamatan) dalam pemberitaan mereka tentang kasus ini (bdk. Suryandaru, 2009). Beberapa
media nasional menggunakan nama lumpur Sidoarjo (Sidoarjo: nama kabupaten). Newsletter
solusi, diterbitkan Lembaga Kajian LC, juga menggunakan nama ini. Beberapa media
internasional, seperti Nature dan National Geographic, dan beberapa artikel jurnal geologi
menggunakan istilah ini (lih. Davies, 2007, 2008; Mazzini, 2007). Baik media maupun jurnal
geologi itu menggunakan akronim Lusi (lumpur Sidoarjo). Beberapa penelitian sosial
berbahasa Inggris lainnya pun merujuk pada nama tempat, yaitu provinsi Jawa Timur, East
Java mudflow (luapan/luberan lumpur Jawa Timur) (Muhtada, 2008, Schiller et al., 2008;
Novenanto, 2009).
Selain menggunakan nama lokasi ada beberapa identitas lain y ang digunakan. Pusat
Informasi Kompas (PIK), misalnya, menggunakan kata kunci lumpur panas dalam mesin
pencarinya. Kata ini terasa lebih netral, akan tetapi tidak cukup merujuk pada kasus spesifik
di Porong, Sidoarjo karena ditemukan kejadian lumpur panas di tempat lain (seperti di Brunei
Darussalam). Kata kunci PIK itu cukup aneh karena menurut pantauan Suryandaru (2009),
Kompas secara konsisten menggunakan lumpur Lapin do. Istilah lumpur Lapindo juga yang
muncul secara spontan dalam perbincangan sehari -hari penulis dengan beberapa orang di
berbagai daerah (Surabaya, Yogyakarta, Sidoarjo, Malang, Pasuruan, dan Probolinggo).
Beberapa media menggunakan istilah spontan masya rakat itu tanpa tendensi melemparkan
kesalahan pada Lapindo, namun agar pembaca dapat langsung merujuk pada peristiwa yang
sedang terjadi di Porong, Sidoarjo bukan di tempat lain ketika membaca istilah lumpur
Lapindo. Sementara newsletter Kanal dengan sengaja menggunakan istilah lumpur Lapindo
sebagai usaha untuk menunjukkan bahwa Lapindo -lah pihak yang paling bertanggung jawab
dalam bencana ini (Wawancara Mujtaba Hamdi).
Dilema penamaan media atas peristiwa ini dapat dilihat dalam Suryandaru (2009). Dalam
analisis framing atas tiga media nasional (Kompas, Media Indonesia dan Seputar Indonesia)
dan tiga media lokal (Jawa Pos, Surya dan Surabaya Post). Ada media yang konsi sten
menggunakan nama lumpur Lapindo (Kompas), namun ada suratkabar yang konsisten
menggunakan nama lumpur Porong (Surabaya Post). Sementara, beberapa suratkabar lain
(Jawa Pos, Surya, Seputar Indonesia dan Media Indonesia) cenderung tidak konsisten dalam
memberi label pada peristiwa ini. Beberapa media terakhir tadi menggunakan lumpur
Lapindo, lumpur Sidoarjo, bahkan hanya lumpur saja, tanpa embel -embel apapun. Suryandaru
menilai labelisasi “lumpur Lapindo” berkonotasi menghakimi Lapindo Brantas Inc sebagaipihak yang bertanggungjawab atas luapan lumpur, sedangkan labelisasi lokasi lumpur Porong
atau lumpur Sidoarjo lebih berkonotasi netral, tidak menuduh atau menyalahkan siapa yang
menjadi penyebab luapan lumpur, dan hanya menunjukkan bahwa peristiwa ini t erjadi di
Porong atau di Sidoarjo (Wawancara dengan Suryandaru).
Artikel ini memilih untuk tidak terpaku pada satu istilah, dan menggunakan multi -istilah
sesuai dengan aslinya dari sumber yang menjadi rujukan karena setiap rujukan memiliki
konteks yang berbeda dalam penamaan peristiwa ini. Meskipun dalam kondisi -kondisi
tertentu penulis cenderung menggunakan istilah “Kasus Lapindo” dengan argumen bahwa
peristiwa bencana yang sedang dikaji ini bukanlah semata akibat fenomena alam yaitu lumpur
yang menyembur dan meluber, namun terkait dengan aspek sosial -politik di Indonesia.
Mengikuti perspektif ekonomi politik/ekologi dalam studi bencana (Kreps, 1984; OliverSmith, 1996), bencana yang ditimbulkan bukanlah semata akibat kerusakan fisik (luberan
lumpur panas yang tiada hentinya), namun akibat relasi struktur sosial dan proses sosial yang
terjadi dalam masyarakat. Untuk mendalami tentang relasi struktur sosial dan proses sosial
dalam bencana, kita masuk sejena k pada pembahasan tentang perspektif ekonomi
politik/ekologi dalam studi antropologi/sosiologi bencana.
Lumpur Panas Sidoarjo dalam Perspektif Ekonomi -Politik/Ekologi
Oliver-Smith (1996) menguraikan tiga perspektif besar dalam studi antropologi bencana:
(1) pendekatan respons yang cenderung melihat kerusakan dan bencana sebagai tantangan
bagi struktur dan organisasi dalam masyarakat dan memfokuskan pada perilaku individual
dan kelompok dalam berbagai macam tahapan pasca -bencana; (2) pendekatan perubahan
sosial, yang melihat bencana sebagai faktor penting dalam perubahan sosial dan budaya,
dalam arti bahwa bencana merusak atau menghancurkan kemampuan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan anggotanya, penyesuaian baru harus segera disusun agar semua bisa
berfungsi sebagaimana mestinya; dan (3) pendekatan ekonomi -politik/ekologi, yang mulai
menyadari bencana bukan hanya masalah hasil dari perubahan geofisik seperti badai, gempa
bumi, tanah longsor, banjir dan lain sebagainya, namun lebih melihat pada fungsi -fungsi
tatanan sosial, struktur hubungan manusia dan alam, pada kerangka yang lebih besar, proses
historis dan struktural, semacam kolonialisme dan kemiskinan, yang juga telah membentuk
fenomena tersebut.
Dengan menggunakan perspektif ekonomi politik/ekologi dal am melihat Kasus Lapindo
terbukalah kesempatan melakukan analisis lebih luas tentang fenomena itu, serta dampak
materiil dan immateriil atas para korban langsung (Oliver-Smith, 2002), mengusulkan analisis
variabel politik, ekonomi dan sosial dengan peristiwa alam tertentu untuk memahami
penyebab-penyebab bencana dalam masyarakat dan lingkungannya. Artinya, kesadaran atas
bencana dalam masyarakat menjadi relatif tergantung pada keberhasilan individu ataumasyarakat untuk menyesuaikan diri pada alam. Sejalan dengan pemikiran Oliver -Smith,
Kreps (1984), dengan bahasa berbeda, mendefinisikan bencana sebagai,
(1) events, observable in time and space, in which (2) societies or their larger subunits
(3) incur physical damages and losses a nd/or disruption of their routine functioning. Both
the causes and consequences of these events are related to (4) the social structures and
processes of societies or their subunits.

Dalam definisi Kreps tersebut, ada empat aspek penting yang perlu digari sbawahi.
Pertama, peristiwa, yaitu kejadian alam, dalam penelitian ini adalah luapan lumpur panas di
Sidoarjo yang terjadi sejak 29 Mei 2006 hingga kini. Kedua, komunitas, dalam penelitian ini
kelompok korban yang sebagian besar adalah warga kecamatan Poro ng, Sidoarjo. Ketiga,
kerusakan dan/atau kehilangan fisik yang mengganggu rutinitas mereka. Tiga aspek ini
muncul dalam kalimat pertama sebagai penegas bahwa bencana adalah sebuah objek yang
bisa dan perlu dijelaskan oleh subjek (manusia). Lumpur panas ada lah fenonema alam yang
konkret ada secara fisik dan kehadirannya itu mengganggu fungsi -fungsi rutin dalam suatu
komunitas, yang oleh karenanya bisa disebut sebagai bencana. Pandangan klasik tentang
bencana hanya berhenti pada tiga aspek tersebut. Namun Kre ps menambahkan aspek terakhir,
keempat, yaitu hubungan struktur sosial dan proses sosial sebagai penyebab dan konsekuensi
dari peristiwa itu. Dengan kata lain, struktur sosial dan proses sosial dalam suatu komunitas
yang rutinitasnya terganggu akibat peristiwa alam (lumpur panas) juga turut menentukan
apakah komunitas itu terkena bencana atau tidak.

Peran struktur sosial dan proses sosial dalam masyarakat pada suatu kondisi bencana,
dapat dengan mudah terlihat dari kecepatan rekonstruksi masyarakat yang ter kena bencana.
Dalam Kasus Lapindo, struktur sosial masyarakat ternyata tidak cukup kuat untuk
menormalkan kembali kehidupan sosial dalam masyarakat. Negara sebagai salah satu contoh
struktur sosial ternyata justru tidak bisa bersikap tegas terhadap perusah aan yang diduga
menjadi sumber bencana ini, pun badan penanggulangan lumpur Sidoarjo (BPLS) yang
dibentuk pemerintah untuk menangani bencana ini ternyata tidak bisa berjalan secara efektif
(Muhtada, 2008). Kondisi serupa juga ditampilkan dalam usaha civil society yang bergerak
saling tumpang tindih dan tak terkoordinasi, sehingga bukannya meringankan penderitaan
korban namun justru menambah penderitaan para korban (Schiller et al., 2008). Tentang
proses sosial dalam bencana lumpur panas ini, ditemukan bahwa pada satu sisi bencana ini
menjadi momentum yang mengikat solidaritas dalam masyarakat, yaitu pembentukan
kelompok-kelompok sosial yang mengorganisir korban untuk mendapatkan kompensasi.
Namun, pada sisi lain, bencana diyakini juga dapat memicu munculnya konflik sosial, yaitu
terpecah-pecahnya masyarakat dalam kelompok -kelompok sosial (Abdullah, 2008).

Menggunakan definisi bencana menurut Kreps tersebut, lumpur panas di Sidoarjo tidak

hanya dapat dipahami sebagai ge jala geologi, namun juga masuk pada analisis tentang relasi
struktur sosial dan proses sosial yang terjadi dalam masyarakat ketika menanggapi fenomena
alam itu. Berbeda dengan bencana yang lain, dimana masyarakat masih bisa menempati
kembali lingkungan aslinya, dalam bencana luapan lumpur panas ini masyarakat tidak
mungkin bisa kembali ke lingkungan aslinya, kondisi ini bahkan dilegalisasi dalam regulasi
pemerintah yang memerintahkan korban untuk menjual tanah dan bangunan mereka ke
Lapindo (Perpres 14/2007) dan pemerintah (Perpres 48/2008). Luapan lumpur panas telah
menyebabkan goyahnya sistem sosial yang sebelumnya berjalan biasa -biasa saja. Kehancuran
ruang-ruang fisik, tanah dan bangunan, mengarah pada kehancuran ruang -ruang publik yang
pada titik tertentu mengarah pada suatu proses penghancuran peradaban. Namun sebelum
membongkar itu, perlulah kita masuk pada gambaran sekilas situasi politik nasional dan
kondisi sosial di Sidoarjo sebelum lumpur menyembur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar